- Back to Home »
- Kaderisasi , Learner »
- Fiqih Thaharah
Selasa, 08 Oktober 2013
Thaharah artinya suci. Secara syara’ berarti
suci dari hadast dan najis.
Hikmah Thaharah: Islam memiliki konsern
yang sangat tinggi terhadap bersuci dan penyucian, baik bersifat hissiyah
(bisa diindera) atau maknawi. Thaharah merupakan urusan yang penting dalam
Islam, boleh dikatakan bahwa tanpa ada thaharah ibadah kita tidak akan diterima, yaitu ibadah yang harus dilakukan dalam keadaan suci seperti
shalat, thawaf, iktikaf, dll. Thaharah juga mendidik
manusia agar hidup bersih, sebagai sarana taqarrub ilallah, serta
mendidik manusia berakhlak mulia.
Dasar Hukum Thaharah:
“dan bersihkanlah
pakaianmu” (QS. Al-Mudatstsir : 4)
“Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan dirinya”
(QS. Al-Baqarah: 222)
Juga hadis yg
diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa “Allah
tidak menerima shalat tanpa bersuci”.
Sebelum melakukan thaharah kita harus dapat
membedakan antara hadast dan najis.
Hadast secara etimologi adalah keadaan badan yang tidak suci-sehingga
tidak boleh shalat. Untuk mensucikannya tergantung dari jenis hadastnya.
Seseorang yang berhadast kecil seperti setelah buang angin, bisa bersuci dengan
berwudhu maupun tayamum. Sedangkan seseorang dalam kondisi hadast besar seperti
setelah haid dan nifas, maupun setelah berhubungan suami-istri, maka ia harus
bersuci dengan mandi wajib.
Sedangkan najis adalah benda yang kotor menurut syara’.
Najis
dibedakan menjadi 3:
1.
Najis mukhaffafah / ringan yaitu air kencing bayi
laki-laki yang belum berusia 2 tahun dan belum makan apapun selain ASI ibunya.
Dapat disucikan hanya dengan memerciki tempat najis dengan air.
2.
Najis mughalazhah / berat yaitu anjing dan babi. Barang
yang terkena najis ini harus disucikan dengan membasuh sebanyak 7 kali dengan
air dan salah satunya dengan air yang dicampur tanah.
3.
Najis mutawassitah / sedang yaitu selain kedua najis
tersebut, segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur manusia maupun
binatang-kecuali air mani, barang cair yang memabukkan, bangkai (kecuali
manusia, ikan dan belalang). Barang yang terkena najis ini yang dapat
terlihat/’ainiyah dapat disucikan dengan dibasuh sekali asalkan sifat-sifat
najisnya hilang (warna, bau, rasa). Namun tiga kali lebih baik. Sedangkan untuk
yang tidak terlihat/hukmiyah seperti bekas kencing atau arak yang sudah kering,
cukup dengan mengalirkan air saja di tempat najis tersebut.
Istinja` : (اسنتجاء) artinya bersuci sesudah keluar kotoran dari qubul (kemaluan)
dan dubur, yaitu dengan cara menggunakan air atau dengan 3 buah batu jika tidak
terdapat air.
Istijmar (استجمار) adalah menghilangkan sisa buang air dengan menggunakan batu
atau benda-bendayangsemisalnya.
Istibra` (استبراء) : maknanya menghabiskan sisa kotoran atau air seni hingga yakin sudah benar-benar keluar semua.
Istibra` (استبراء) : maknanya menghabiskan sisa kotoran atau air seni hingga yakin sudah benar-benar keluar semua.
Adab Istinja’:
1. Menggunakan tangan kiri dan dimakruhkan dengan tangan
kanan
2. Istitar atau memakai tabir penghalang agar tidak terlihat
orang lain
3. Tidak membaca tulisan yang mengandung nama Allah SWT
4. Tidak menghadap Kiblat atau membelakanginya
5. Tidak sambil berbicara
6. Masuk tempat buang air dengan kaki kiri & keluar dg kaki kanan
Dalam bersuci, tak terlepas dari penggunaan air.
Namun harus diperhatikan karena tak semua air dapat digunakan untuk bersuci.
Ada 4 macam air berdasarkan hukumnya, yaitu:
1.
Air Muthlaq, seperti air hujan, air
sungai, air laut; hukumnya suci dan mensucikan
2.
Air Musta’mal, yaitu air yang lepas dari
anggota tubuh orang yang sedang berwudhu atau mandi, dan tidak mengenai benda najis;
hukumnya suci seperti yang disepakati para ulama, dan tidak mensucikan menurut
jumhurul ulama
3.
Air yang bercampur benda suci, seperti
sabun dan cuka, selama percampuran itu sedikit tidak mengubah nama air, maka
hukumnya masih suci mensucikan, menurut Madzhab Hanafi, dan tidak mensucikan
menurut Imam Syafi’i dan Malik.
4. Air mutanajjis/air yang terkena najis. Jika mengubah rasa, warna, atau
aromanya, maka hukumnya najis tidak boleh dipakai bersuci, menurut ijma’.
Sedang jika tidak mengubah salah satu sifatnya, maka mensucikan, menurut Imam
Malik, baik air itu banyak atau sedikit; tidak mensucikan menurut Madzhab
Hanafi; mensucikan menurut Madzhab Syafi’i jika telah mencapai dua kulah, yang
diperkirakan sebanyak volume tempat yang berukuran 60 cm3.
Sedangkan Su’r (sisa) yaitu air yang tersisa di tempat minum setelah
diminum:
1.
Sisa anak Adam (manusia) hukumnya suci,
meskipun ia seorang kafir, junub, atau haidh.
2.
Sisa kucing dan hewan yang halal
dagingnya, hukumnya suci.
3.
Sisa keledai dan binatang buas, juga
burung, hukumnya suci menurut madzhab Hanafi.
4.
Sedangkan sisa anjing dan babi, hukumnya
najis menurut seluruh ulama
Wudhu
Wudhu adalah bersuci dengan air yang dilakukan dengan
cara khusus. Kewajiban berwudhu ditetapkan dengan firman Allah swt,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika
kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi
Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.” (Al-Ma’idah: 6)
Sedangkan dari hadits kita dapati sabda Nabi saw. yang
berbunyi, “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang di antaramu jika
berhadats sehingga berwudhu.” (As Syaikhani)
Abu Hurairah r.a. telah merilis tentang keutamaan wudhu.
Bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah aku tunjukkan kepadamu tentang
amal yang menghapus kesalahan dan meninggikan kedudukan?” Mereka menjawab,
“Mau, ya Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Menyempurnakan wudhu dalam kondisi
yang tidak menyenangkan, memperbanyak langkah ke masjid, menunggu shalat
setelah shalat. Itulah ribath, itulah ribath, itulah ribath.” (Malik, Muslim,
At Tirmidzi, dan An-Nasa’i)
Ribath adalah keterikatan diri di jalan
Allah. Artinya, membiasakan wudhu dengan menyempurnakannya dan beribadah
menyamai jihad fi sabilillah.
Syarat-syarat wudhu
1.
Islam
2.
Tamyiz (mampu membedakan
baik-buruknya suatu pekerjaan)
3.
Tidak berhadast besar
4.
Dengan air suci dan mensucikan
5.
Tidak ada sesuatu yang
menghalangi air, sampai ke anggota wudhu, misalnya getah, cat dan sebagainya.
6.
Mengetahui mana yang wajib
(fardhu) dan mana yang sunnah
Fardhu wudhu
1.
Niat
2.
Membasuh seluruh muka (mulai
dari tumbuhnya rambut kepala hingga bawah dagu, dan dari telinga kanan hingga telinga
kiri).
3.
Membasuh kedua tangan sampai
siku
4.
Mengusap sebagian rambut kepala
5.
Membasuh kedua belah kaki
sampai mata kaki
6.
Tertib (berurutan)
Sunnah-sunnah wudhu
1.
Membaca basmalah
2.
Membasuh kedua telapak tangan
sampai pergelangan
3.
Berkumur
4.
Membasuh lubang hidung sebelum
berniat
5.
Menyapu seluruh kepala dengan
air
6.
Mendahulukan anggota badan
kanan dari yang kiri
7.
Menyapu kedua telinga luar dan
dalam
8.
Menigakalikan dalam membasuh
9.
Membersihkan sela-sela
jari-jari tangan dan kaki
10.
Membaca doa sesudah wudhu
Yang membatalkan wudhu
1.
Keluar sesuatu dari qubul dan
dubur
2.
Hilang akal sebab gila,
pingsan, mabuk, dan tidur nyenyak
3.
Tersentuh kulit antara
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim
4.
Tersentuh qubul dan dubur
dengan telapak tangan maupun jari-jari tanpa penutup (meskipun kemaluannya
sendiri)
Kapan Wudhu Menjadi Wajib dan
Kapan Sunnah
Wudhu menjadi wajib jika:
1.
Untuk shalat, baik shalat fardhu
maupun sunnah. Meskipun shalat jenazah, karena firman Allah swt., “…jika kamu
mau shalat, maka hendaklah kamu basuh.” (Al-Maidah: 6)
2.
Thawaf di Ka’bah, karena hadits Nabi
saw., “Thawaf adalah shalat.” (At-Tirmidziy dan Al-Hakim)
3.
Menyentuh mushaf, karena hadits Nabi
saw., “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (An-Nasa’i dan
Ad-Daruquthni). Demikianlah pendapat jumhurul ulama. Ibnu Abbas, Hammad, dan
Zhahiriyah berpendapat bahwa menyentuh mushaf boleh dilakukan oleh orang yang
belum berwudhu, jika telah bersih dari hadats besar. Sedangkan membaca
Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, semua sepakat memperbolehkan.
Wudhu
menjadi sunnah:
1.
Ketika dzikrullah. Pernah ada
seseorang yang memberi salam kepada Nabi saw. yang sedang berwudhu, dan Nabi
tidak menjawab salam itu sehingga menyelesaikan wudhunya dan bersabda,
“Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku menjawab salammu, kecuali karena aku
tidak ingin menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.” (Al-Khamsah,
kecuali At Tirmidzi).
2.
Ketika hendak tidur, seperti hadits
Nabi saw., “Jika kamu mau tidur hendaklah berwudhu sebagaimana wudhu shalat.”
(Ahmad, Al-Bukhari dan At Tirmidzi)
3.
Bagi orang junub yang hendak makan,
minum, mengulangi hubungan seksual, atau tidur. Demikianlah yang diriwayatkan
dari Rasulullah saw oleh Bukhari, Muslim dan muhadditsin lainnya.
4.
Disunnahkan pula ketika memulai
mandi, seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah r.a.
5.
Disunnahkan pula memperbaharui wudhu
setiap shalat, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan kebanyakan
ulama hadits.
·
Tayammum
Tayammum ialah mengusap muka dan dua belah tangan dengan debu yang
suci.
Syarat tayammum:
1.
Tidak ada air dan sudah
berusaha mencari tapi tidak menemukan
2.
Berhalangan menggunakan air,
misalnya karena sakit yang apabila menggunakan air akan kambuh sakitnya
3.
Telah masuk waktu shalat
4.
Dengan debu yang suci
Fardhu tayammum:
1.
Niat
2.
Mengusap muka dengan debu
tanah, dengan dua kali usapan
3.
Mengusap dua belah tangan
hingga siku dengan debu tanah dua kali usapan
4.
Memindahkan debu kepada anggota
yang diusap
5.
Tertib
Sunah tayammum:
1.
Membaca basmalah
2.
Mendahulukan anggota tubuh
kanan dari yang kiri
3.
Menipiskan debu
Batalnya tayammum
1.
Segala yang membatalkan wudhu
2.
Melihat air sebelum shalat,
kecuali yang bertayammum karena sakit
3.
Murtad
·
Menyapu dua muzah/sepatu
Cara ini merupakan keringanan dalam islam. Berfungsi menggantikan
wudhu bagi para musafir selama tiga hari-tiga malam, atau pun yang bermukim
selama sehari semalam. Namun tidak bisa menggantikan mandi wajib. Dilakukan
dengan mengusap sepatu dengan tangan yang dibasahi.
Syarat:
1.
Muzah dipakai sesudah dicuci
bersih dengan sempurna
2.
Menutupi bagian kedua kaki yang
dibasuh, yaitu menutup tumit dan mata kaki
3.
Muzah itu dapat dibawa berjalan
lama
4.
Tidak terdapat kotoran dan
najis
·
Mandi wajib
Sebab-sebab yang mewajibkan
mandi:
1.
Bersetubuh
2.
Keluar mani
3.
Mati, dan matinya bukan mati
syahid
4.
Setelah nifas, wiladah dan haid
Fardhu mandi:
1.
Niat
2.
Membasuh seluruh tubuh tanpa
terkecuali. Meratakan aior ke permukaan kulit dan rambut.
3.
Menghilangkan najis
Sunnah mandi:
1.
Mendahulukan membasuh segala
kotoran dan najis dari seluruh badan
2.
Membaca basmalah sebelum
memulai
3.
Menghadap kiblat
4.
Mendahulukan bagian tubuh kanan
dari yang kiri
5.
Membaca doa sebagaimana membaca
doa setelah berwudhu
6.
Mendahulukan berwudhu sebelum
mandi
Sumber:
Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, Drs.Moh.Rifa’i