Popular Post

Sabtu, 08 September 2012


By : Aditya Nugraha Nurtantijo

Kalau kita bertanya pada anak kecil, apa cita-cita mereka, hampir semuanya bakal menjawab dokter, astronot, insinyur, pilot, penemu, pemain bola, dsb. Seiring berjalannya waktu banyak juga yang berubah, pola pikir juga realita kehidupan yang akhirnya menempatkan diri kita di posisi yang berbeda.

Dokter, mungkin profesi ini adalah dambaan semua orang. Banyak banget orang yang mau masuk fakultas kedokteran, biarpun sebenernya passion mereka bukan di situ, tapi di tempat lain. Tapi karena mengejar gengsi, derajat sosial yang tinggi juga penghasilan yang relatif tinggi, banyak banget yang mau jadi dokter. Bukan sekali saja saya mendengar teman-teman saya berbicara sinis, “kok banyak banget sih yang mau jadi dokter?” atau “emang kalo jadi dokter udah pasti kaya lu? Belum kali!”, dan hal-hal sejenisnya.

Kalau boleh jujur, pada awalnya masuk FK bukanlah pilihan saya. Waktu kecil saya ingin sekali menjadi seorang astronot, karena bisa menjelajah ke tempat-tempat yang gak bisa digapai oleh semua orang. Lalu pikiran saya berubah, saya ingin menjadi seorang ahli kimia, karena saya menemukan kimia itu fascinating dan sepertinya di situlah passion saya. Ternyata saya berpikir lagi, menjadi seorang ilmuwan tidak cukup bagi saya. Mungkin kecerdasan adalah sesuatu yang sangat diperlukan, tetapi interaksi dengan sesama, dengan masyarakat, adalah sesuatu yang jauh lebih penting dan berharga.

Guru saya semasa SMP pernah berkata bahwa menjadi apapun kita suatu saat nanti, pada akhirnya masyarakat adalah tempat kita kembali. Menjadi seorang dokter berarti mengabdikan diri pada masyarakat, mengabdikan diri pada sesama, menjadi perantara antara Tuhan dengan manusia untuk menolong dan mempertahankan hal yang paling berharga yang dimiliki manusia.

Mungkin itu alasan mengapa ilmu kedokteran adalah sesuatu yang menarik perhatian saya, karena dalam ilmu ini kita mempelajari kemampuan untuk menyelamatkan sesuatu yang paling berharga yang dimiliki manusia, bukan harta atau jabatan, melainkan nyawa. Saat kita kehilangan nyawa kita, hilanglah segala yang kita punya. Hilanglah kesempatan untuk memanen modal yang akan kita bawa ke kehidupan nanti.
Tapi, kalau boleh saya berbagi, ada satu momen yang menjadi titik saya mengambil keputusan untuk menjadi seorang dokter.

Dari semua kakek dan nenek saya, ada satu orang kakek saya yang sangat dekat dengan saya, beliau adalah seorang yang jujur, murah hati juga peduli pada sesama. Sayangnya beliau mengalami gagal ginjal sehingga kondisinya menurun. Saat itu saya harus pergi ke suatu tempat yang sangat jauh untuk waktu yang cukup lama. Sebelum pergi kakek saya bertanya, mau jadi apa saya. Saya bilang saya ingin menjadi seorang dokter, lalu saya akan menolong kakek menyembuhkan sakitnya. Dan ternyata saat saya pergi, beliau meninggal.

6 Juli 2012. Jam menunjukkan pukul 18.59, satu menit menjelang pengumuman SNMPTN. Saya tak kuasa menahan gelisah karena takut tulisan apa yang akan tertera di situ. Waktu menunjukkan pukul 19.00, artinya pengumuman sudah dibuka. Saya membuka website tersebut dan masih tertahan untuk beberapa waktu karena begitu banyaknya peserta lain yang membuka website tersebut.

Akhirnya muncul halaman log in dan saya masukkan data-data saya. Tidak begitu lama tulisan SELAMAT ATAS KEBERHASILAN ANDA muncul. Ibu dan adik saya datang lalu memeluk saya. Ibu saya menangis bangga, dan saya pun sangat bahagia karena tidak ada hal lain yang lebih saya inginkan dari melihat orangtua saya menangis karena bangga kepada saya.

Keesokan harinya, saya datang ke makam kakek saya. Saya tahu ia tak akan mendengar, tapi saya hanya perlu memberitahukannya. Saya memberitahukan keberhasilan saya. Saya memberitahukan bahwa saya selangkah lebih dekat dengan janji saya kepadanya. Saya ingin membanggakannya.

Akhirnya, di sinilah saya berdiri, sebagai mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2012. Mungkin dunia kedokteran belum mulai sama sekali bagi saya, tapi banyak sekali hal yang ingin saya lakukan dan ingin saya berikan bagi sesama.

Setelah saya diterima dan mulai menjalani orientasi, saya mulai melihat dokter dari sisi lain. Bahwa sesungguhnya menjadi seorang dokter bukanlah sebuah pekerjaan yang bisa dijalankan hanya karena tuntutan ataupun materi. Menjadi seorang dokter adalah menjadi wakil Tuhan di bumi untuk menolong sesama. Menjadi seorang dokter adalah bentuk kedekatan kita dengan Sang Pencipta yang menciptakan bumi juga alam semesta. Menjadi seorang dokter adalah anugerah.


So ask yourself, how do you want to be remembered?
Aditya Nugraha Nurtantijo
Fakultas Kedokteran Universitas Padjdjaran 2012

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2016 KAMI ASY-SYIFAA' FK UNPAD - Powered by Blogger